Di tepi pantai indah Saparua, sebuah pulau kecil di Maluku Tengah, berdiri kokoh sebuah benteng tua peninggalan kolonial yang hingga kini menyimpan cerita panjang tentang perebutan pengaruh di kawasan timur Indonesia. Benteng itu bernama Duurstede. Namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, tetapi bagi masyarakat Maluku, ia bukan sekadar tumpukan batu, melainkan saksi bisu dari sebuah masa di mana kepulauan rempah menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa.
Benteng Duurstede adalah salah satu benteng peninggalan Belanda yang masih berdiri. Namun, berbeda dengan benteng lain di Maluku yang terletak di Ambon atau Banda Neira, Duurstede memiliki aura historis yang khas karena erat kaitannya dengan perlawanan rakyat Saparua di bawah pimpinan Thomas Matulessy, atau yang lebih dikenal dengan nama Kapitan Pattimura.
Awal Pembangunan Benteng
Benteng Duurstede dibangun oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1676 di Saparua, sebuah pulau kecil yang masuk dalam jajaran Kepulauan Lease. Nama “Duurstede” sendiri diambil dari sebuah kota di Belanda, yakni Wijk bij Duurstede, sebagai simbol kehadiran Belanda yang ingin menanamkan identitasnya jauh di tanah jajahan.
Sebelum pembangunan benteng, wilayah Saparua sudah dikenal sebagai pusat produksi cengkih. Cengkih adalah komoditas emas kala itu, dan VOC berusaha memonopoli perdagangannya dengan cara membangun benteng-benteng di titik strategis. Benteng Duurstede berfungsi ganda: sebagai pusat pertahanan militer, sekaligus pusat administrasi VOC di Saparua.
Arsitekturnya bergaya Eropa klasik abad ke-17, berbentuk persegi empat dengan bastion di setiap sudut. Susunan batu karang yang diambil dari sekitar pulau digunakan sebagai pondasi utama, memperlihatkan bagaimana kolonial memanfaatkan sumber daya lokal demi membangun simbol kekuasaan.
“Setiap batu yang disusun bukan hanya pondasi, tetapi juga penanda bahwa rempah-rempah Maluku begitu berharga hingga harus dijaga dengan darah dan senjata.”
Latar Belakang Politik dan Ekonomi Maluku
Pada abad ke-16 hingga ke-17, Maluku menjadi pusat perhatian dunia. Portugis, Spanyol, Inggris, hingga Belanda datang bergantian untuk menguasai jalur perdagangan rempah. Portugis sempat berkuasa di Maluku pada abad ke-16 dengan membangun benteng di Ternate dan Ambon, tetapi kemudian tergeser oleh Belanda yang datang melalui VOC pada awal abad ke-17.
VOC berhasil memonopoli perdagangan cengkih dengan politik yang keras. Mereka menerapkan sistem extirpatie, yakni penebangan pohon cengkih secara paksa di daerah-daerah yang dianggap berlebihan. Dengan cara itu, harga rempah bisa dikontrol sesuai kepentingan VOC di pasar Eropa.
Benteng Duurstede menjadi salah satu simpul penting dalam sistem monopoli ini. Dari benteng inilah pengawasan terhadap produksi cengkih di Saparua dilakukan. Kapal-kapal dagang VOC berlabuh, mencatat hasil panen, sekaligus memastikan tidak ada pedagang asing lain yang membeli cengkih secara bebas.
Benteng dan Perlawanan Rakyat
Sejarah mencatat bahwa Benteng Duurstede bukan hanya pusat kekuasaan, tetapi juga menjadi arena perlawanan heroik. Pada 1817, rakyat Saparua bangkit melawan Belanda. Pemberontakan besar ini dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Pattimura.
Kala itu, rakyat sudah muak dengan monopoli VOC dan penindasan terhadap petani cengkih. Kondisi ekonomi rakyat terpuruk, sementara Belanda semakin menekan. Puncaknya terjadi pada 16 Mei 1817, ketika Pattimura dan pasukannya menyerbu Benteng Duurstede.
Dalam serangan itu, Residen Van den Berg dan pasukan Belanda tewas. Untuk pertama kalinya, rakyat berhasil merebut benteng dengan kekuatan sendiri. Kemenangan ini menggemparkan, bahkan sampai ke Batavia. Namun, tidak lama kemudian Belanda mengirim pasukan tambahan yang jauh lebih besar, hingga akhirnya benteng kembali direbut. Pattimura ditangkap dan dieksekusi, tetapi semangatnya abadi dalam sejarah bangsa.
“Benteng ini pernah jatuh ke tangan rakyat. Itu membuktikan bahwa meski kecil dan sederhana, kekuatan rakyat bisa mengguncang imperium besar.”
Timeline Sejarah Benteng Duurstede
1512: Kedatangan Portugis
Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang mendarat di Maluku. Mereka segera membangun benteng di Ternate dan Ambon untuk menguasai perdagangan rempah. Dominasi mereka berlangsung hampir satu abad.
1605: Ambon Jatuh ke Tangan Belanda
Belanda melalui VOC berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Inilah titik awal dominasi Belanda di Maluku. Dari sini, mereka mulai membangun jaringan benteng dan melakukan monopoli ketat.
1676: Pembangunan Benteng Duurstede
VOC mendirikan Benteng Duurstede di Saparua. Nama benteng diambil dari sebuah kota kecil di Belanda, Wijk bij Duurstede. Benteng ini berfungsi sebagai pusat pertahanan sekaligus pos kontrol perdagangan cengkih. Arsitekturnya berbentuk segi empat dengan bastion di tiap sudut, khas benteng Eropa abad ke-17.
“Dari benteng ini VOC mengatur ritme kehidupan rakyat Saparua, mulai dari panen cengkih hingga arus dagang yang masuk dan keluar.”
1600–1700-an: Masa Monopoli Ketat VOC
VOC menerapkan kebijakan extirpatie, yaitu penebangan paksa pohon cengkih di luar wilayah yang mereka tentukan. Hal ini menimbulkan penderitaan rakyat, karena tanaman yang menjadi sumber kehidupan mereka dimusnahkan demi menjaga harga tetap tinggi di pasar Eropa.
1799: Bubarnya VOC
VOC resmi dibubarkan karena bangkrut, setelah lebih dari 200 tahun berkuasa. Semua aset dan wilayah jajahan VOC, termasuk Maluku, diambil alih langsung oleh pemerintah kolonial Belanda.
1817: Pemberontakan Pattimura
Peristiwa paling heroik terjadi pada 16 Mei 1817. Kapitan Pattimura dan rakyat Saparua menyerbu Benteng Duurstede. Dalam perlawanan itu, Residen Van den Berg dan pasukan Belanda berhasil dikalahkan. Untuk sesaat, benteng jatuh ke tangan rakyat. Namun, Belanda mengirim bala bantuan lebih besar dan berhasil merebutnya kembali. Pattimura kemudian ditangkap dan dieksekusi di Ambon, namun perjuangannya menjadi simbol perlawanan bangsa.
“Benteng ini menjadi saksi ketika keberanian rakyat kecil mampu menumbangkan pasukan kolonial, meski hanya untuk sesaat.”
1900-an: Masa Kolonial Belanda Modern
Setelah perlawanan Pattimura, benteng ini kembali menjadi pos penting Belanda. Pada abad ke-20, ia lebih berfungsi sebagai pos administrasi dan simbol kekuasaan, bukan lagi sebagai benteng militer utama.
1942: Pendudukan Jepang
Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada masa Perang Dunia II, Belanda kehilangan kendali atas banyak benteng kolonial. Duurstede pun sempat berada di bawah penguasaan Jepang, meski fungsinya sudah berkurang.
1945: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pasca kemerdekaan, Benteng Duurstede tidak lagi berfungsi militer. Ia lebih dipandang sebagai situs sejarah dan simbol perjuangan.
Kini: Cagar Budaya dan Wisata Sejarah
Benteng Duurstede ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah. Ia menjadi salah satu destinasi wisata utama di Saparua, tempat masyarakat dan wisatawan datang untuk mengenang sejarah.
Simbol Identitas dan Ingatan Kolektif
Bagi masyarakat Saparua, Benteng Duurstede bukan sekadar bangunan tua. Ia adalah simbol kebanggaan. Setiap tahun, peringatan Hari Pattimura pada 15 Mei digelar dengan meriah. Benteng menjadi pusat perayaan, tempat masyarakat berkumpul mengenang sejarah dan meneguhkan kembali identitas mereka sebagai pewaris perjuangan.
Benteng ini menjadi ruang edukasi sejarah bagi generasi muda. Di sinilah kisah perlawanan disampaikan, bukan hanya lewat buku, tetapi juga lewat ruang nyata yang bisa disentuh dan dirasakan.
Kondisi Benteng Saat Ini
Hingga kini, Benteng Duurstede masih berdiri megah. Pemerintah dan masyarakat lokal berupaya menjaga agar bangunan tetap terawat. Dindingnya memang telah mengalami erosi akibat angin laut dan usia, namun beberapa kali dilakukan renovasi tanpa mengubah bentuk aslinya.
Benteng ini juga menjadi destinasi wisata populer. Pengunjung bisa menikmati arsitektur kolonial yang kokoh sekaligus pemandangan laut Saparua yang menawan. Banyak wisatawan yang mengaku terpesona, bukan hanya oleh keindahan fisiknya, tetapi juga oleh aura sejarah yang begitu kuat.
“Di setiap sudutnya, ada bisikan masa lalu yang seakan ingin didengar oleh siapa saja yang datang. Benteng ini tidak hanya berdiri di atas tanah, tapi juga di atas ingatan kolektif bangsa.”
Saparua dan Jejak Kolonial di Maluku
Selain Benteng Duurstede, Saparua juga menyimpan berbagai peninggalan kolonial lain, seperti rumah tua pejabat Belanda dan monumen Pattimura. Pulau ini ibarat arsip hidup, tempat di mana masa lalu masih bisa dijumpai dalam bentuk nyata.
Namun, Saparua juga tidak hanya menawarkan sejarah. Pantai-pantai indah, laut biru, dan kehidupan masyarakat yang ramah menjadikannya destinasi wisata yang lengkap. Bagi mereka yang ingin mengenal Maluku lebih dekat, mengunjungi Benteng Duurstede adalah langkah awal yang tepat.